MEDIA TERDEPAN DAN TERPERCAYA

26 November 2015

"Rangkaian Bunga Akan Layu Kalau Anak Gadis Tak Perawan Lagi"

Loading...
Loading...

“Kalau anak perawan itu tidak gadis lagi, maka rangkaian bunganya akan layu,” begitu kata Raidi Bin Papung, Kepala Desa Lelea, Kecamatan Lelea, Kabupaten Indramayu, di tengah persiapan tradisi Ngarot, Rabu (25/11/2015). Di kutip dari Kompas.com

Deretan kata itu adalah mitos leluhur yang sampai hari ini masih dipertahankan. Tak sekadar mitos, kalimat itu akan terus dilestarikan lantaran memiliki banyak nilai dan makna untuk kehidupan masyarakat, khususnya generasi kaum muda-mudi.

Raidi menyebut, mitos tersebut berfungsi sebagai pencegah agar generasi penerus bangsa, khususnya keturunan Desa Lelea, senantiasa mempertahankan budi pekerti, termasuk kesucian dan kebersihan.

“(Mitos) itu bagus sebagai rem, agar anak-anak jangan berbuat yang tidak-tidak. Itu nilai positif, dan mencegah anak untuk tidak berbuat macam-macam,” katanya sebelum menggelar upacara.

Dalam tradisi Ngarot, para gadis desa sejak pagi didandani kedua orangtua maupun tetangganya. Mereka menggunakan sejumlah bunga yang dirangkai menjadi mahkota.

Beberapa bunga yang digunakan, antara lain kenanga, melati, mawar, sunduk, dan bunga pandan.

“Selain wangi, seluruh bunga mengandung makna kesucian dan kebersihan,” kata pria yang sudah menjabat sebagai kepala desa selama empat tahun itu.

Selain mahkota bunga, para gadis ini juga dihias busana khusus, yakni kebaya, selendang, kain, perhiasan kalung, gelang, dan juga cincin. Sang perjaka juga menggunakan seragam khas, yakni sepasang pakaian komboran berwarna hitam, lengkap dengan iket kepala lembaran.

Tak lama berbincang, Raidi bergegas melanjutkan persiapan upacara dengan mengikuti aba-aba yang dibacakan Suparno (59), seorang Pamong Budaya Kecamatan Lelea, dari Dinas Pemuda, Olahraga, Kebudayaan, dan Pariwisata (Disporabudpar) Kabupaten Indramayu.

Dengan pengeras suara, Suparno menyebut sederet istilah yang menjadi urutan barisan dalam kirab Ngarot. Barisan pertama diisi oleh Kuwu dan Kuwu Biang (istri kuwu), diikuti Ewena Pamong (istri-istri pamong atau perangkats desa), Cuwene Ngarot (pengantin Ngarot wanita), Jidur (kesenian tradisional berupa jidur, terompet, gitar, krecek, dan lainnya), Pamong Laki (perangkat desa lelaki), Bujang Ngarot (pengantin pria ngarot), Reog (kesenian reog), Lembaga Desa (LPM/ BPD/ dan lainnya), dan diakhiri kesenian genjring.

“Iring-iringan ini dinamai kirab Ngarot. Mereka berkeliling Desa Lelea, berputar di tiap titik perbatasan desa, dan berakhir di kantor balai desa Lelea. Di sini lah, kami menggelar upacara Ngarot, yakni pemerintah dan sesepuh desa menitipkan kepada para pengantin gadis dan perjaka, bibit padi unggulan, air, pupuk, pacul, dan sejumlah peralatan pertanian lainnya,” katanya di sela aktivitas.

Pemberian perangkat pertanian ini sebagai simbol upaya untuk melestarikan tradisi yang sudah dilahirkan secara turun temurun. Para gadis dan perjaka ini diharapkan dapat meneruskan, dan memanfaatkan tanah Kasinoman seluas sekitar 2,6 hektar peninggalan Ki Buyut Kapol, pendiri desa setempat sekitar tahun 1600-an.

“Upacara tradisional masyarakat Lelea menjelang musim tanam inilah yang dimaksudkan Ngarot. Bahkan hasil bumi dari proses pertanian di tanah Kasinoman tersebut, akan digunakan kembali untuk tradisi Ngarot dari tahun ke tahun,” katanya.

Tak jauh dari rumah kepala desa, sejak pagi hari, Sutami (45), warga Desa Lelea, sudah terlihat sibuk merias dua orang gadis, Umiyati (18) dan Salsa Nirmala (12).

Meski bukan sanak keluarga, Sutami dengan senang hati menyusun mahkota bunga di dua kepala gadis itu. Tak hanya tahun ini, ia setia merias sejumlah gadis tetangganya, dari tahun ke tahun.

“Saya pernah jadi pengantin Ngarot, waktu usia 13 tahun. Saat itu, setelah kirab, rombongan Ngarot langsung menuju sawah peninggalan. Sebagian pengantin pria memacul tanah, dan sebagian pengantin gadis langsung menyemai bibit padi,” kenangnya.

Tak hanya itu, Sutami juga menceritakan sejumlah perbedaan upacara ngarot lainnya. Dahulu, seluruh bunga yang digunakan untuk mahkota asli. Tapi sejak sekitar 20 tahun lalu, sebagian bunga lainya adalah buatan dari kertas.

Meski demikian, Sutami serta warga setempat mengaku akan berupaya terus melestarikan tradisi Ngarot hingga anak cucunya.
Loading...
LANGSUNG SHARE KE MEDSOS...