Loading...
Loading...
Sungguh malang nasib sang nenek dibawah ini, di usia yang renta, di saat
mereka seharusnya merasakan manis-nya sisa hidup yang dimiliki,
nenek-nenek ini harus berurusan dengan hukum. Mereka di tuduh mencuri,
padahal mereka hanya meminta, mereka harus dituntut agar dihukum berat,
padahal barang yang diambil-nya tidak lah seberapa.
Ironi memang, ketika melihat kondisi nenek nenek ini menangis memohon
kepada hakim agar tidak dihukum karena perbuatan kecilnya. Kasus terbaru
yang menjadi sorotan publik, hingga turunnya gerakan mahasiswa guna
meminta hakim membebaskan Nenek ini adalah sosok seorang nenek 63 tahun
bernama Nenek Asyani. Ia menangis histeris di ruang sidang pengadilan
negeri (PN) Situbondo, Jatim. Ia meminta belas kasihan kepada hakim,
agar dibebaskan dari tuduhan pencurian kayu jati yang tak seberapa
(illegal logging).
Miris memang, melihat orang kecil menangis tidak bisa berbuat apa-apa
terhadap hukum. Dimana perbuatan kecil-nya tidak sebanding dengan
miliaran uang negara yang di korupsi oleh orang-orang tak berperasaan.
Dimana kah letak keadilan itu?
Berikut adalah 3 Kisah Nenek Renta Yang dituduh mencuri dan kini harus berurusan dengan Hukum :
1. Kisah Nenek Minah Yang Harus Berurusan Dengan Hukum Karena Memetik 3 Buah kakao
Kisah malang yang menimpa Nenek minah. Berawal ketika nenek Minah sedang
asik memanen kedelai, mata tua minah tertuju pada 3 buah kakao ranum
yang ada di Dusun Sidoarjo, Desa Darmakradenan, Kecamatan Ajibarang,
Banyumas, Jawa Tengah pada 2 Agustus 2009 silam. Dari sekadar memandang
Nenek tua ini kemudian memetiknya untuk disemai sebagai bibit di tanah
garapan-nya. Nenek minah tidak punya tanah, tanah yang digarapnya adalah
tanah yang dikelola oleh PT Rumpun Sari Antan (RSA). Ia berencana
menanam kakao di tanah tersebut.
Setelah dipetik, 3 buah kakao tersebut tidaklah ia sembunyikan,
melainkan digeletakkan begitu saja di bawah pohon kakao. Dan tak lama
berselang, lewat seorang mandor perkebunan kakao PT RSA. Mandor itu pun
bertanya, siapa yang memetik buah kakao itu. Dengan polos, Minah mengaku
hal itu perbuatannya. Minah pun diceramahi bahwa tindakan itu tidak
boleh dilakukan karena sama saja seperti mencuri.
Sadar perbuatannya salah, Minah meminta maaf pada sang mandor dan
berjanji tidak akan melakukannya lagi. 3 Buah kakao yang dipetiknya pun
dia serahkan kepada mandor tersebut. Minah berpikir dengan meminta maaf,
semuanya beres dan dia kembali bekerja.
Namun dugaanya meleset. Peristiwa kecil itu ternyata berbuntut panjang.
Sebab seminggu kemudian dia mendapat panggilan pemeriksaan dari polisi.
Proses hukum terus berlanjut sampai akhirnya dia harus duduk sebagai
seorang terdakwa kasus pencuri di Pengadilan Negeri (PN) Purwokerto.
Dan hari Kamis pada tanggal 19 november 2009, majelis hakim yang
dipimpin Muslih Bambang Luqmono SH memvonisnya 1 bulan 15 hari dengan
masa percobaan selama 3 bulan. Minah dinilai terbukti secara sah dan
meyakinkan melanggar pasal 362 KUHP tentang pencurian.
Di ruang pengadilan saat itu, terlihat suasana persidangan yang penuh
dengan keharuan. Selain menghadirkan seorang nenek yang miskin sebagai
terdakwa, majelis hakim juga terlihat sangat ragu ketika menjatuhkan
hukum kepada nenek tersebut. Bahkan ketua majelis hakim saat itu, Muslih
Bambang Luqmono SH, terlihat menangis saat membacakan vonis.
"Kasus ini kecil, namun sudah melukai banyak orang," ujar Muslih.
Vonis hakim 1 bulan 15 hari dengan masa percobaan selama 3 bulan
disambut gembira keluarga, tetangga dan para aktivis LSM yang mengikuti
sidang tersebut. Mereka segera menyalami Minah karena wanita tua itu
tidak harus merasakan dingin-nya sel tahanan.
Apakah, dengan kata "maaf" yang tulus dari orang kecil seperti Nenek minah tak cukup bagi seorang mandor untuk memaafkannya?
2. Kisah Nenek Artija Yang Harus Berurusan Dengan Hukum Karena Menebang Pohon
Kisah kedua datang dari seorang nenek berusia 70 tahun bernama Nenek
Artija. Pada tahun 2013 lalu, Nenek Artija di laporkan oleh anak
kandungnya sendiri Manisa, yang mengaku jika pohon yang dicuri dengan
cara ditebang itu berada di tanah miliknya. Ia salah dalam membuat
laporan, yang awalnya dia melaporkan kakak kandungya, ternyata yang
menjadi tersangka adalah ibu kandungnya sendiri.
"Waktu itu yang saya laporkan adalah kakak saya, Ismail dan anaknya yang
bernama Syafii. Saya tidak pernah melaporkan ibu saya karena sebagai
anak saya juga mencintainya," kata Manisa dalam persidangan di
Pengadilan Negeri Jember 2013 silam.
Manisa juga mengaku terkejut, ketika dalam perkembangan kasusnya,
ternyata ibu kandungnya Artija juga menjadi tersangka, karena dianggap
sebagai orang yang menyuruh menebang pohon. Manisa menduga, masuknya
Artija dalam kasus ini, merupakan upaya yang dilakukan Ismail dan Syafii
bersama penasihat hukumnya.
"Itu kan memang rekayasa mereka agar ibu saya tersangkut. Padahal saya
tidak pernah melaporkan ibu saya. Kalau saya diminta mencabut laporan
dan berdamai dengan ibu saya, ya saya mau. Tapi kalau diminta berdamai
dengan Ismail dan anaknya, saya menolak," tegas ibu dua anak ini.
Manisa juga menegaskan bahwa kayu yang ditebang Ismail dan Syafii
merupakan pohon yang tumbuh di atas tanahnya. Tanah itu telah dibeli
Manisa pada tahun 2002 lalu. Dia terpaksa membeli tanah itu karena oleh
pemiliknya akan diwakafkan dan dijadikan kuburan
Sementara penasihat hukum terdakwa, Abdul Haris Afianto SH menampik
tudingan bahwa dirinya merekayasa masuknya nama Artija dalam kasus
tersebut. Menurut pengacara yang akrab disapa Alfin itu, masuknya nama
Artija murni kewenangan polisi sebagai penyidik. Sebab Artija mengaku
penebangan kayu itu atas perintahnya sehingga perempuan itu dianggap
sebagai orang yang turut serta.
Dalam beberapa kali sidang, Artija selalu histeris karena tidak kuat
menahan beban atas kasus yang melilitnya. Bahkan perempuan itu sempat
dipapah ke luar sidang karena nyaris pingsan. Majelis hakim Pengadilan
Negeri Jember akhirnya menghentikan sidang kasus nenek Artija. Majelis
hakim menyatakan tuntutan atas kasus pencurian kayu yang dialamatkan
kepada warga lingkungan Gempal, Keluarahan Wirolegi, Kecamatan
Sumbersari itu, tidak dapat diterima.
"Berdasarkan surat pencabutan perkara dari Kejaksaan Negeri Jember dan demi rasa keadilan masyarakat, maka majelis hakim memutuskan tuntutan terhadap terdakwa Ismail, Syafii dan Artija alias Bu Ismail, tidak dapat diterima," kata ketua Majelis Hakim Ari Satyo Rancoko SH dalam persidangan, Kamis (16/5/2013).
Begitu hakim mengetukkan palu sidang, Artija pun tak kuasa membendung
air matanya. Perempuan berusia 72 tahun itu pun langsung berdiri dari
tempat duduknya dan menyalami majelis hakim, diikuti anaknya Ismail dan
cucunya Syafii yang juga menjadi terdakwa. Sambil terus meneteskan air
mata, Artija mengucapkan terima kasih kepada 3 hakim yang menyidangkan
kasus pencurian kayu bakar itu.
3. Kisah Nenek Asyani Yang Berurusan dengan Hukum Karena dituduh Telah mencuri kayu jati
Kisah ketiga datang dari seorang nenek 63 tahun yang menangis histeris
di ruang sidang pengadilan negeri (PN) Situbondo, Jawa timur. Nenek yang
diketahui bernama Asyani, meminta belas kasihan kepada majelis hakim,
agar dibebaskan dari tuduhan pencurian kayu jati.
Sebab kejadian tersebut terjadi sekitar 5 tahun lalu, dan kejadian
tersebut terjadi di atas lahannya sendiri. Namun apa daya Nenek Asyani
hanya segumpal orang yang tak bisa berbuat apa-apa ketika dirinya dibawa
oleh pihak yang berwajib. Asyani menangis histeris, saat kuasa hukumnya
dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Nusantara Situbondo membacakan eksepsi
atau pembelaan.
Nenek Asyani ini dijerat dengan pasal 12 juncto pasal 83 UU Nomor 18
tahun 2013, tentang Pencegahan dan Pemberantasan Pengrusakan Hutan.
"Penyidikan kasus ini terkesan dipaksakan. Terdakwa dipaksa mengakui atas perbuatan yang tidak dilakukan guna menyempurnakan BAP sesuai yang diinginkan penyidik. Ini jelas tidak sesuai dengan UU dan sudah melanggar HAM," kata Supriyono, kuasa hukum terdakwa, Senin (9/3/2015).
Padahal kasus penebangan 7 batang kayu jati yang dilakukan nenek Asyani
ini terjadi pada 5 tahun yang lalu. Namun, pihak perhutani melaporkan
kasus ini pada Agustus 2014 lalu.
Nenek Asyani pun ditahan oleh penyidik sejak 15 Desember 2014. Selain
itu, lokasi penebangan pohon itu disebut-sebut berada di lahan milik
Asyani. Kepemilikan lahan itu konon juga dikuatkan dengan catatan di
buku catatan tanah di kantor desa setempat.
Saat sidang di Pengadilan Negeri (PN) Situbondo, Nenek Asyani menangis
dan menjerit, saat melihat salah satu Mantri Perhutani berada di ruang
sidang. Konon, si mantri itulah yang melaporkan kasus pencurian kayu
Asyani ke Mapolsek Jatibanteng.
"Been se tege ka engkok, engkok tak tao alako ngecok (Kamu yang tega ke saya. Saya tidak pernah mencuri)," jerit Asyani saat duduk di kursi pesakitan PN Situbondo.
Nenek Asyani histeris, saat tanggapan terhadap nota pembelaan kuasa
hukumnya baru saja selesai dibacakan Jaksa Penuntut Umum (JPU), Ida
Hariyani. Dia baru berangsur tenang setelah kuasa hukumnya dan JPU
berusaha menenangkan. Salah satu kuasa hukumnya, H Supriyono, juga
meminta agar si mantri perhutani keluar dari ruang sidang.
Munculnya tudingan rekayasa penyidikan terhadap Asyani dibantah keras
aparat kepolisian di Situbondo. Polisi memastikan, proses penyidikan
yang dilakukan Unit Reskrim Polsek Jatibanteng sudah sesuai prosedur.
Sehingga tahapan penyidikan bisa diselesaikan dan berkas dinyatakan
sempurna oleh Kejaksaan Negeri (Kejari) Situbondo.
"Proses penyidikan sudah selesai dan sekarang sudah memasuki tahap persidangan. Silakan hormati proses hukum yang berjalan, agar tidak muncul opini yang justru bisa membingungkan masyarakat. Kalau ada yang merasa dirugikan, silakan tempuh jalur hukum," kata Kasubbag Humas Polres Situbondo, Ipda H Nanang Priambodo.
Sungguh malang, hanya karena 7 batang kayu jati, seorang nenek tua dan
tak bisa apa apa harus mendekap di dalam jeruji besi. Apakah Hukum telah
tepat sasaran, menghukum orang kecil yang dalam kenyataannya tidak
melakukan kesalahan dan tidak merugikan negara. Atau apakah hukum itu
melindungi orang-orang besar saja, patut kita pertanyakan
Loading...