Loading...
Ada dua alasan Lian memungut liontin itu dari tempat sampah. Pertama, isi tempat sampah sekadar kertas-kertas salah cetak, hingga bersih dan bebas bau. Mengambil benda dari situ tidak akan mengotori tangannya. Kedua, liontin itu amat mirip hadiah dari mendiang Nenek.
Kantor cabang perusahaan asuransi ini sudah kosong. Jam menunjukkan pukul delapan malam, dan semua pegawai lain sudah pulang. Lian memandangi liontin yang dia yakini memang pemberian Nenek: berbentuk hati, berwarna ungu anggur, dengan ukiran nama Nenek di bagian belakang.
Namun, kali terakhir Lian melihat liontin dengan rantai perak tipis ini adalah tujuh tahun lalu. Saat itu dia dan keluarganya baru pindah ke Jakarta. Ketika mereka membongkar barang, liontin itu tidak ada. Barangkali tertinggal di rumah lama, kata Ibu. Dengan sedih, Lian terpaksa merelakan raibnya kenang-kenangan paling berharga dari Nenek.
Dan kini liontin itu ada dalam tempat sampah di ruangan kantornya.
Dengan hati-hati, Lian mencukil kait di pinggir liontin sampai terbuka. Apakah liontin ini tak sengaja terbawa kapal laut atau pesawat? Menyeberangi lautan dari Sumatera ke Jawa, lalu menunggu di tempat sampah untuk ditemukan Lian? Seraya menahan napas, dia membuka liontin, lalu mengernyit.
Liontin itu bukan berisi foto Nenek seperti yang dia ingat. Melainkan foto seorang pria sepantar Lian. Wajah pria itu cemberut, seolah dia tak sudi dipotret. Sejenak Lian bingung, lalu tiba-tiba sadar: dia mengenal pria dalam foto ini.
Lima belas tahun lalu, pasti beginilah tampang Pak Mahesa, kepala kantor cabang dan atasan Lian. Bentuk wajah, mata, dan hidungnya sama, tapi bukti paling telak adalah cemberutnya. Pak Mahesa menganut paham bahwa, agar anak buah terpacu bekerja, mereka harus sering-sering disodori muka masam. Rekan-rekan Lian menjulukinya Si Muka Cuka.
Tadinya, sebelum menemukan liontin, Lian lelah dan lapar. Namun, kini tenaga baru mengaliri sekujur tubuhnya. Keberadaan liontin pun bukan lagi misteri. Pasti benda ini milik Pak Mahesa, yang membuangnya sebab jengkel dengan wajah sendiri. Ukiran nama Nenek hanya kebetulan—mungkin namanya sama dengan nama kerabat Pak Mahesa.
Ujung jari Lian menyentil foto itu.
"Merengut melulu, Pak." Dia mencetus. Mulutnya membentuk seringai mencemooh. "Tahu rasa kalau nggak bisa senyum lagi. Susah keluar rumah. Dijauhi keluarga. Nggak bisa kerja."
Masih sambil menyeringai, Lian mencabut foto Pak Mahesa dari dalam liontin. Dalam perjalanan pulang, dia merobek foto dan melemparnya ke dalam selokan. Nah! Silakan Pak Mahesa mencemberuti air kotor di sana.
*
Pada pukul sepuluh pagi, Pak Mahesa belum juga tiba di kantor. Rekan-rekan Lian mulai berkasak-kusuk. Salah satunya, Anwar, berinisiatif mengecek akun media sosial milik Pak Mahesa. Hasilnya nihil—tak ada status sejak kemarin. Lian sendiri terus bekerja seolah tak terjadi apa-apa.
"Ke mana, ya, si bos?" tanya Vita yang duduk di sebelah Lian. "Orang rajin begitu, tahu-tahu telat masuk kantor."
Berenang di comberan, mungkin, pikir Lian tak acuh. Seperti fotonya yang kubuang ke selokan tadi malam.
Anwar menelepon nomor ponsel Pak Mahesa. "Dijawab voice mail," lapornya pada rekan-rekan lain. "Apa dia sakit? Tapi kemarin segar bugar."
Satu jam kemudian, karena belum juga ada kabar, Anwar memberanikan diri menelepon rumah Pak Mahesa. Rekan-rekannya menatap dengan penasaran saat Anwar berbicara dengan sikap berubah-ubah: kaget, serius, lalu prihatin.
"Tadi itu si Mbak di rumah Pak Mahesa." Masih dengan air muka prihatin, Anwar meletakkan gagang telepon. "Pak Mahesa lagi diantar istrinya ke dokter. Dia sakit, um… aku juga bingung cara jelasinnya."
"Sakit kambuhan?" tanya Vita.
Anwar menggeleng. "Pagi-pagi Pak Mahesa bangun, mukanya jadi aneh. Mulut melengkung ke bawah, bibir maju ke depan. Mungkin mirip cemberut dia ke kita. Bisa cuma otot keseleo, bisa juga gejala penyakit parah. Dia usahakan, sepulangnya dari dokter nanti mampir di kantor."
Jarum jam melewati angka dua belas. Sebuah pesan masuk ke ponsel Anwar: istri Pak Mahesa mengabarkan kondisi suaminya. Menurut diagnosis dokter, Pak Mahesa sehat dan otot wajahnya normal. Namun, ekspresi cemberut itu tetap melekat di wajahnya tanpa bisa diubah. Hari ini Pak Mahesa libur dulu, dan wajah serta lehernya dipijat oleh tukang urut.
Itulah akibat kebanyakan cemberut, cetus rekan-rekan Lian. Cemberut yang terlalu sering akhirnya tertanam ke dalam daging. Meskipun ucapan itu bernada menghakimi, mereka pun berharap Pak Mahesa lekas sembuh. Sementara itu, Lian tidak ikut berkomentar.
"Ih, sakit apaan, ya?" cerocos Vita. "Kalau gejala strok, kok, nggak kedeteksi sama dokter? Sepupu aku pernah, tuh, kayak gitu waktu SMA! Mulutnya tertarik ke kanan. Konon, dia sering mandi air dingin malam-malam, ototnya jadi kaku. Beberapa hari dia harus diam di rumah!"
"Vita," ujar Lian, "aku lagi sibuk…"
"Untung sepupuku sembuh! Tapi waktunya pas banget, sehari sebelum ujian nasional. Gawat, kan, kalau dia nggak lulus, cuma gara-gara lalai sewaktu mandi…"
Loading...
Vita sialan! Segala hal sepele dia omongkan panjang lebar, menyangka orang pasti tertarik. Celaka betul Lian, terjebak duduk di samping orang bermulut bocor begitu.
Di kamar mandi, Lian melampiaskan kekesalan dengan memutar keran wastafel keras-keras. Guyuran air di tangannya lambat laun menyejukkan hati yang kesal. Dia mematikan keran, lalu pandangannya singgah di cermin dan berhenti di sana.
Cermin memantulkan wajah bulat telur dan rambut tebal. Lian akrab dengan wajah itu, tapi tidak dengan garis-garis di kedua sisi mulutnya. Garis-garis ini, yang belum ada tadi pagi, menambahkan kesan cemberut di wajahnya.
Cemberut seperti pada wajah Pak Mahesa.
Bukan apa-apa, pikir Lian. Hanya efek cahaya, akan hilang sesudah dia beristirahat. Lian mengelus kedua garis itu, dan jarinya mendapati lekukan dalam di daging pipi. Setengah bergidik, dia bergegas kembali ke mejanya.
Vita sedang mengobrol dengan rekan lain. Lian membuka akun Facebook Vita, lalu memilih salah satu fotonya. Semua orang sibuk bekerja, menebak-nebak penyakit Pak Mahesa, atau keduanya. Tak ada yang memperhatikan saat Lian mencetak foto Vita dan menyimpan kertas cetakannya di laci.
Sorenya, Anwar menerima pesan lanjutan dari istri Pak Mahesa. Pijatan tukang urut sama sekali tidak berpengaruh pada wajah Pak Mahesa, yang mulutnya justru makin melengkung. Besok Pak Mahesa akan diperiksa oleh dokter lain.
"Sepupuku, yang aku ceritakan tadi, butuh banyak istirahat," kata Vita pada Lian selagi semua orang bersiap-siap pulang. "Si bos paling-paling juga sama."
Dia melanjutkan berkicau tentang kafe langganannya, mengajak Lian bersantai di sana. Sambil tersenyum, Lian menampik ajakan Vita. Begitu semua rekannya keluar dari kantor, Lian mengambil kertas cetakan foto Vita dan gunting dari laci. Beres menggunting foto hingga seukuran liontin, dia memasang guntingan foto di dalam liontin.
"Vita, rem kamu terlalu blong," ujar Lian. "Mulai besok, kurangi omonganmu. Sedikit saja, nggak usah banyak-banyak. Oke?"
*
Dua hari kemudian, Pak Mahesa masih belum masuk kerja. Hasil diagnosis dokter kedua sama dengan yang pertama: fisik normal, dan entah apa yang mengubah bentuk mulut. Rekan-rekan Lian sepakat untuk membesuk atasan mereka. Lian ingin tahu, adakah nanti yang berani menyuruh Pak Mahesa sering-sering tersenyum.
Jika pun ada, orang itu bukan Vita. Sejak kemarin dia nyaris tidak mengeluarkan suara. Bila ditanya, dia menyahut dengan singkat. Beberapa kali rekan-rekan sekantornya melirik Vita dengan penuh pengertian. Tampaknya mereka menduga, Vita sedang ditimpa masalah.
Tak ada yang curiga bahwa suara Vita yang rendah itu bukan akibat tekanan batin. Bila dia melantangkan suara, atau bicara lebih dari lima kata berturut-turut, udara berhenti mengalir ke paru-parunya hingga dia tidak bisa bernapas. Terpaksa dia bicara pendek-pendek, dan akhirnya memilih diam.
Napas pendek itu sesuai dengan permintaan Lian pada liontin. Kini dia bekerja dengan nyaman, tak terusik oleh celoteh Vita.
*
Kondisi Pak Mahesa tak kunjung membaik. Konon, dia kini bahkan kesulitan membuka mulut. Kantor pusat pun mengirimkan kepala cabang pengganti. Orangnya energik, teliti, dan—yang paling disukai rekan-rekan Lian—murah senyum.
"Aku setuju dia kerja di sini terus," kata Anwar. Lalu dia tampak merasa bersalah, tapi tak ada yang menuduh dia senang atas sakitnya Pak Mahesa. Semua rekan Lian berpikiran sama: mereka menyukai sang atasan baru dan ingin masa jabatannya diperpanjang.
Sementara itu, garis-garis di sisi mulut Lian tidak menghilang. Dia menyayangkannya, walau tidak terlalu kaget. Begitu pula saat napasnya terhenti bila dia bicara panjang-panjang, seperti yang dirasakan Vita.
Segala sesuatu ada imbalannya. Lian hanya tinggal menanggung imbalan itu. Lagi pula, dia atau pun orang lain tidak akan mati hanya gara-gara cemberut permanen dan jarang bicara.
Sebulan kemudian, kantor Lian heboh: si kepala cabang yang baru kabur dengan membawa uang perusahaan. Istri dan anaknya turut raib tanpa jejak. Atas permintaan perusahaan, polisi memburu orang yang kini berstatus mantan kepala cabang itu. Selagi rekan-rekannya sibuk membahas kasus ini, Lian membuka akun media sosial milik mantan kepala cabang.
Akun itu belum digembok. Foto-fotonya pun banyak yang baru. Lian mencetak salah satu foto dan menyimpan kertas cetakannya di laci. Setelah rekan-rekannya pulang, dia menggunting foto mantan kepala cabang dan memasukkannya ke dalam liontin.
Perampok. Bedebah. Mencuri uang lalu kabur. Aku rasa, sekarang dia berfoya-foya di persembunyian, merasa aman dari kejaran polisi. Dia tidak tahu, ada liontin ini…
Ujung jari Lian mengelus sisi liontin. Napasnya makin pendek, dan garis di sisi mulutnya makin hari makin memanjang. Namun, dia tak peduli. Senyumnya mengembang selagi dia larut oleh kegembiraan akan menghukum seorang penjahat.
Akan kutahan dia supaya terpaksa diam di tempat dan mudah ditangkap polisi! Kira-kira, apa yang bisa dibuat lumpuh tanpa menyebabkan dia—dan aku—mati? Kaki? Tangan? Atau… kehilangan satu bola mata?
Tentang Penulis:
Eve Shi senang menulis sejak kecil. Dia telah menerbitkan delapan novel cetak dan sedang merambah online fiction. Kamu bisa mengontak Eve lewat email di stormofblossomsgmail.com atau lewat Twitter di @Eve_Shi dan Instagram @eveshi6
Loading...